Bersama Hujan


 

Hujan turun, dan perlahan membasahi dedaunan. Seketika mengaburkan pandangan. Menitipkan wangi tanah pada bayu yang berhembus,  perlahan menyapaku, menelusup hingga relung hati. Membasuh luka-luka yang tertinggal akibat kenangan. Mengabarkan berita bahagia tentang harapan samar menenangkan.

Kunikmati hujan turun sore hari sendirian. Bersama serpihan-serpihan masa lalu di sela jemari.  Sesekali bayu menyampaikan pesan, menghantarkan aromamu yang serupa embun pagi hari, membangkitkan indera yang lelap dalam senyap. Kehadiran imajinermu, menggoyahkan keseimbangan. Memecah keheningan dalam ritual sakral bercengkrama dengan hujan.

Akankah tetap sama suatu hari nanti? Sendirian? Masihkah bulir hujan serupa kristal membuatku terhenyak? Masihkah wangi tanah berhembus samar? Adakah seorang yang nyata menelusupkan jemari ataukah sekedar berdiri menemani?

Dan bilapun hujan akan sering turun, sendirian atau bersama seorang yang lain. Masihkah kenangan tentangmu tetap sama? Masihkah kamu akan menjadi sosok imajiner yang menghantui, bila kunikmati hujan bersama seorang lain yang lebih nyata adanya?

Hujan mengantarkanku pada kesimpulan. Bahwa kehadiran imajinermu menjadikan ritual bercengkara hujan terasa lebih sakral. Sekaligus semakin menyiksa. Menyesakkan. Jika kamu tetap bertahan dalam bentuk imajinermu, aku tak butuh hadirmu. Lebih baik kamu pergi dan jangan pernah kembali!

Tanpa ragu kukatakan, kita tak diciptakan tuk bersama. Saling menautkan jemari.  Duduk bersisian, berayun-ayun di beranda, menyanyikan lagu yang kuciptakan bertahun lalu, namun bukan bersama sosok imajinermu.

Hari ini. Esok. Nanti. Bahkan jika bumi berhenti berotasi. Aku akan tetap mencari perasaan cukup saat menatap binar mata seorang sosok nyata. Perasaan menerima kecacatan dalam dirinya. Perasaan menemukan rumah tuk kupulang dan berbaring tenang.

Leave a comment