Ketika kita bertemu kembali setelah sekian lama, kukira mudah saja. Aku telah mulai bersiap sejak kemungkinan itu ada. Anggap saja pertemuan itu adalah satu dari keajaiban yang dengan murah hati Tuhan bagikan kepadaku.
Awalnya aku tak punya nyali menyapamu, sungguh aku tak tahu harus apa sementara sekuat hati aku menahan tangis yang hampir tumpah tak berkesudahan.
Kemudian esoknya kita habiskan waktu seharian. Kita, aku, kamu, dan teman-temanmu yang sekaligus teman-temanku juga. Kita berkendara jauh, menghabiskan jam demi jam di jalanan.
Lagi-lagi aku tak tahu harus apa, meski aku sudah menanggapi beberapa obrolan diantara kita. Aku tak bersikap baik padamu, ketus, tanpa senyum, dan sinis. Bukan. Bukan karena aku membencimu, tapi aku hanya memasang topeng agar kamu tak bisa membaca luka dalam sorot mataku.
Kemudian semuanya berakhir. Aku di sudut ruang menangis tak berkesudahan. Perih. Aku bahagia melihatmu lagi, sempurna. Sekaligus aku takut bahwa pertemuan ini adalah yang terakhir. Aku tak berani berharap akan ada keajaiban selanjutnya untuk kembali menatap binar matamu.
Aku sampai pada suatu titik dimana kamu terasa sangat jauh untuk kuraih. Titik dimana aku sampai pada kesadaran sampai kapanpun aku tak akan pernah layak untuk kamu perjuangkan.
Aku mungkin akan terus menangis tanpa kesudahan hingga aku mencapai akhir dimana kamu adalah seseorang yang harus kurelakan untuk tidak menjadi bagian dari hidupku yang penuh cacat.
Aku tak tahu. Mungkin memang aku tak layak untuk siapapun dan harus siap sendirian.
R,
Terima kasih untuk waktu singkat yang kamu luangkan, walaupun bukan sepenuhnya untukku. Selamat berbahagia. Kamu makhluk paling beruntung yang tidak perlu terjebak bersamaku dalam dunia rumitku yang hanya akan membuatmu bosan.
Posted from WordPress for Android